“HSA Antihistamin H2”
Oleh: Asriani Indah Bangu
Kelompok 5
A. PENDAHULUAN
Alergi merupakan suatu
reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing.
Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran
nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga, dan debu. Alergen juga
dapat masuk melalui saluran percernaan (ingestan) seperti susu, telur,
kacang-kacangan dan seafood. Sering kali kita mengalami alergi, misal alergi
kulit yang menjadi merah, gatal dan bengkak sampai alergi yang
membuat sesak nafas.
Saat alergen masuk ke
dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan
dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut
kemudian menempel pada sel mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen
akan mengikat Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan
tersebut memicu pelepasan senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin
menstimulasi rasa gatal melalui mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin
yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh stress dan depresi.
Histamin
adalah senyawa yang terlibat dalam respon imunitas lokal, selain
itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf
pusat dan mengatur fungsi fisiologis di lambung. Sebenarnya histamin sendiri
terdapat di hampir semua jaringan tubuh manusia dalam
jumlah kecil . Konsentrasi terbesar terdapat di kulit,, paru-paru dan mukosa
gastrointestinal. Histamin dibentuk oleh histidin dengan bantuan enzim
histidine decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang terbentuk akan
diinaktivasi dan disimpan dalam granul mast cell dan basofil (sel darah
putih). Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala
alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak
menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi
akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi
adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress. Efek
samping dari antihistamin secara umum adalah mengantuk, mulut kering, gangguan
saluran cerna, gangguan urin dan terkadang iritasi. Banyak sekali obat yang
dapat meyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut menekan susunan saraf pusat.
Maka sering kita melihat pada kemasan obat bahwa kita dilarang mengendalikan
kendaraan setelah minum obat tersebut.
Pada
tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami. Sejak itu secara
luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada umumnya
antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya
mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan
alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1)
klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping,
mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan
koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan
menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang.
Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1
sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah.
Antihistamin
adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap
tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan).
B. PENGERTIAN HISTAMIN
Histamin adalah senyawa
normal yang ada didalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel mast dan
peredaran basofil, yang berperan terhadap beberapa fisiologis penting. Histamin
sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan
gejala alergi.
Mekanisme kerja obat
antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui
kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di
organ sasaran. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung.
Histamine dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada pengikatan kompleks
heparin-protein dalam sel mast, sebagai hasil reaksi antigen-antibodi, bila ada
rangsangan senyawa alergen. Senyawa ini dapat berupa spora, debu rumah, sinar
ultraviolet, cuaca, racun, tripsin, dan enzim, zat makanan, obat, dan beberapa
turunan amin.
Histamin ini dibentuk
di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim
histidin-dekarboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan
mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga
sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya
histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya
matahari. Histamin memiliki aktifitas farmakologi yang hebat, antara lain dapat
menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan
konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan darah perifer. Histamine dapat dimetabolisis melalui reaksi
oksidasi, N-metilasi, dan aseilasi. Histamin pada manusia adalah mediator
penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai
peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai
neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk
atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang
berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik
pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil,
sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel.
Peran histamin dalam
tubuh:
a. Kontraksi dari otot–otot polos bronchus dan usus.
b. Memperbesar permeabilitas kapiler :
udem & pengembangan mukosa.
c. Stimulasi ujung–ujung saraf :
nyeri & gatal–gatal.
d. Vasodilatasi pembuluh : kemerahan & rasa panas di wajah, menurunnya
resistensi perifer & tekanan darah.
e. Memperkuat sekresi asam lambung, kelenjar ludah dan
air mata.
Histamin
menimbulkan efek yang bervariasi pada beberapa organ, antara lain yaitu :
1.
Vasodilatasi kapiler sehingga permeable terhadap permeable terhadap cincin dan
plasma protein sehingga menyebabkan sembab, rasa gatal, dermatitis, urtikaria.
2.
Merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan tukak lambung.
3.
Meningkatkan sekresi kelenjar
4.
Meningkatkan sekresi otot polos bronkus dan usus
5.
Mempercepat kerja jantung
6.
Menghambat kontraksi uterus
Garam
fosfatnya (Histamin fosfat):
Mengetahui
berkurangnya sekresi asam lambung
Diagnosis
karsinoma lambung
Kontrol
positif pada uji alergi kulit
Betazol.2HCl
:
Isomer
histamin (agonis histamin)
Penggunaan
= histamin fosfat
Mekanisme Kerja
Histamin dapat
menimbulkan efek bila berinteraksi dengan reseptor, histaminergik yaitu
reseptor H1, H2, dn H3. Interaksi histamin dengan reseptor H2 dapat
meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Produksi asam
lambung disebabkan penurunan cGMP dalam sel dan peningkatan cAMP. Peningkatan
sekresi asam lambung dapat menyebabkan efek tukak lambung. Efek ini diblok oleh
antagonis H2.
C. PENGERTIAN ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah
obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamine dalam tubuh
melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi resptor H1, H2, H3. Efek
antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan
atau mengubah efek histamine yang sudah terjadi. Antihistamin umumnya tidak
dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin terutama bekerja dengan
menghambat secara bersaing interaksi histamine dengan reseptor khas.
Berdasarkan pada reseptor khas antihistamin antagonis H2 digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung pada pengobtan penderita tukak lambung.
Antagonis
H2
Adalah
senyawa yang secara bersaing menghambat interaksi histamine dengan reseptor H2
sehingga dapat menghambat asam lambung.
Antagonis Reseptor
Histamin H2
Reseptor
histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan
sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2)
dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula
dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus.
Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina,
roxatidina, dan lafutidina. Antagonis H2 biasa digunakan untuk pengobatan tukak
lambung dan usus. Efek samping antagonis H2 antara lain : diare, nyeri otot dan
kegelisahan.
Mekanisme kerja:
mempunyai struktur serupa dengan histamine yaitu mengandung cincin imidazol,
tetapi yang membedakan adalah panjang gugus rantai sampingnya. Bekerja tidak
pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehingga memperkecil
pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum pelepasan
histamin. Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamine, gastrin, dan
asetilkolin, antagonis H2 menghambat secara langsung kerja histamin pada
sekresi asam lambung dan menghambat kerja potensial histamine pada sekresi asam
yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin, sehingga histamine mempunyai
efikasi intrinsic dan efikasi potensial, sedang gastrin dan aetilkolin hanya
mempunyai efikasi potensial. Tapi jika sudah terjadi pelepasan histamin,
indikasinya sama dengan AH1.
D. HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Dari
studi hubungan sruktur dan aktivitas
dalam usaha pengembangan obatbantagonis H-2 telah dilakukan modifikasi struktur
histamin dan didapat hal-hal menarik sebagai berikut
a.
Modifikasi pada cincin
Cincin
imidazol dapat membentuk dua tautomer , yaitu N- H dan N-H. Bentuk N-H lebih
dominan dan diperlukan untuk aktivitas antagonis H2-Metiamid , dengan bentuk
N-H , mempunyai aktiitas 5 kali lebih besar dibanding burimamid yang mempunyai
bentuk N-H. Cincin imidazol pada umumnya mengandung rantai samping gugus yang
bersifat penarik eletron . Pemasukan gugus metil pada atom C2 cincin imidazol
secara selektif dapat merangsang reseptor H1. Pemasukan gugus metil pada atom
C4 ternyata senyawa bersifat selektif H2 , agonis dengan efek H-1 agonis lemah.
Hal ini disebabkan substituen 4 –metil yang bersifat donor elektron yang akan
memperkuat efek tautomeri rantai penarik eletron sehingga bentuk tautomer N-H
lebih stabil. Modifikasi yang lain pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek
H2-antagonis yang lebih kuat.
b.
Modifikasi pada rantai samping
Untuk
aktivitas optimal cincin harus terpisahdari gugus N oleh atom C atau
ekivalennya. Pemedekan rantai dapat menurunkan aktivitas antagonis H2.
Penambahan panjang gugus metilen pada rantai samping turunan guanidin akan
meningkatkan kekuatan H2-antagonis tetapi senyawamasih mempunyai
efek persial-agonis yang tidak diinginkan.
Penggantian
1 gugus metilen (-CH2-) pada rantai samping dengan isosteik tioeter
(-S-) meningkatkan aktivitas antagonis.
c.
Modifikasi pada gugus N
Penggantian
gugus amino rantai samping dengan gugus guanidin yang bersifat basa kuat (Na-guanilhistamin) ternyata menghasilkan
efek H2-antagonis lemah, dan masih bersifat parsial agonis. Sifat
basis senyawa (pKa = 13,6) menyebabkan senyawa terionisasi sempurna pada pH
fisiologis. Histamin (pKa =5.9)di dalam tubuh hanya 3% terionkan.
Penggantian
gugus guanidin yang bermuatan positif dengan gugus tiourea yang tidak bermuatan
atau tidak terionisasi pada pH tubuh dan bersifat polar, serta masih mampu
membentuk ikatan hidrogen, seperti pada burimamid,
akan menghilangkan efek agonis dan memberikan efek H2-antagonis 100
kali lebih kuat dibanding Na-guanilhistamin.
Gambar.
Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa burimamid dan metiamid menimbulkan efek samping
kelainan darah (agranulositosis) yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea.
Modifikasi
lebih lanjut adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-sianoguanidin yang
tidak bermuatan dan masih bersifat polar, seperti pada simetidin.
Gambar.
Gugus
siano yang bersifat elektronegatif kuat mengurangi sifat kebasaan atau ionisasi
gugus guanidin sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi lebih besar.
Simetidin
aktivitasnya 2 kali lebih besar dibanding metiamid dan menimbulkan efek samping
agranulositosis lebih rendah. Simetidin merupakan senyawa penghambat reseptor H2
pertama yang digunakan secara klinik untuk menghambat sekresi asam lambung pada
pengobatan tukak lambung dan usus.
Etinidin adalah analog simetidin dimana mengandung gugus metiletinil pada
ujung N-guanid, aktivitasnya 2 kali lebih besar dibanding simetidin.
Modifikasi
isosterik dari inti imidazol telah diselidiki dan dihasilkan senyawa yang lebih
rendah. Penggantian inti imidazol engan cincin furan, pemasukan gugus
dimetilaminoetil pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus
nitrometenil, menghasilkan ranitidi,
yang dapat menghilangkan efek samping smetidin, seperti ginekomastiadan konfusi
mental, dan mengurangi kebasaan senyawa. Tidak sepertisimetidin, ranitidin
tidak menghambat metabolisme dari fenitoin, warfarin, dan aminofilin, dan juga
tidak mengikat sitokrom P-450.
Gambar.
Penggantian
inti imidazol dengan cincin tiazol, pemasukan gugus guanidin pada cincin dan
penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus sulfonamidoguanidin, menghasilkan famotidin, yang mempunyai aktivitas
lebih poten dibanding simetidin dan ranitidin, dapat menurunkan efek
antiandrogenik, dan mengurangi sifat kebasaan senyawa.
Gambar.
HUBUNGAN
STRUKTUR AKTIVITAS (HSA)
1. Faktor
yang Kurang Mendukung HSA
a. Perbedaan
keadaan pengukran parameter kimia fisika dan aktivitas biologis
b. Senyawa
yang digunakan ternyata bentuk pra obat, yang terlebih dahulu harus mengalami
bioaktivasi menjadi metabolit aktif
c. Aktivitas
obat dipengaruhi oleh banyak keadaan in vivo, seperti distribusi obat yang
melibatkan proses transport, pengikatan oleh protein,proses metabolism yaitu
bioaktivasi dan biodegredasi serta proses ekskresi
d. Senyawa
mempunyai pusat atom asimetris
e. Senyawa
mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan senyawa lain tetapi berbeda
mekanisme aksinya
f. Pengaruh
bentuk sediaan terhadap aktivitas
g. Obat
bersifat multipoten
h. Perbedaan
spesies terutama obat yang memberikan perbedaan aktivitas yang besar oleh
adanya perbedaan spesies
2. Faktor
yang Mendukung Hubungan Struktur Aktivitas
a. Hubungan
struktur aktivitas empiris yang sifatnya incidental
Untuk
tipe obat tertentu hokum empiris yang diperlukan untuk tetrjadinya aktivitas
biologis dapat digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data percobaan
yang tersedia.
b. Struktur
obat simetrik
Jarak
antara dua gugus fungsi identik dalam molekul obat mungkin diperlukan untuk
mendapatkan aktivitas yang optimal. Hal ini menunjukkan bahwa reseptor
mempunyai dua sisi aktif pada jarak tertentu. Jarak yang optimum kemungkinan
berhubungan dengan sifat hidrofil dan lipofil yang optimum.
Antihistaminika
Adalah zat-zat yang
dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang
berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi. Bila dilihat
dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga
terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk
suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur
siklik,misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak
mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti
halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya
melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun
tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan
masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor)
dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena
antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus
menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang
spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari
antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.
E.
OBAT
– OBAT ANTIHISTAMIN H2
a. Simetidin (Cimet,
Corsamet, Nulcer, Tagamet, Ulcedine ), merupakan antagonis kompetitif histamin
pada reseptor H2 dari sel parietal sehingga secara efektif dapat
menghambat sekresi asam lambung. Simetidin juga memblok seksresi asam lambung
yang disebabkan oleh rangsangan makanan, asetilkolin, kafein dan insulin.
Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau tukak lambung atau usus
dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom ZoIIinger-Ellison.
Efek
samping yang ditimbulkan antara lain adalah diare, pusing, kelelahan dan rash.
Keadaan kebingungan, ginaekomastia dan impotensi juga dapat terjadi tetapi
bersifat terpulihkan. Absorpsi obat
dalam saluran cerna cepat, kadar plasma teringgi dicapai dalam 1 jam bila
diberikan dalam keadaan lambung kosong dan 2 jam bila diberikan bersama-sama
dengan makanan. Jadi pemberian simetidin sebaiknya bersama-sama dengan makanan
karena dapat menghambat absorpsi obat sehingga memperpanjang masa kerja obat.
Waktu paronya 2 jam.
Dosis : 200 mg 3 dd, pada waktu makan dan
400 mg, sebelum tidur, Dosis: oral, 400 mg 2 kali sehari (setelah makan
pagi dan sebelum tidur malam) atau 800 mg sebelum tidur malam (tukak lambung
dan tukak duodenum) paling sedikit selama 4 minggu (6 minggu pada tukak
lambung, 8 minggu pada tukak akibat AINS); bila perlu dosis dapat ditingkatkan
sampai 4 x 400 mg sehari atau sampai maksimal 2,4 g sehari dalam dosis terbagi
(misal: stress ulcer); anak lebih 1 tahun, 25-30 mg/kg bb/hari dalam
dosis terbagi.
Pemeliharaan, 400 mg sebelum tidur malam
atau 400 mg setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Refluks esofagitis, 400
mg 4 kali sehari selama 4-8 minggu.
Sindrom Zollinger
Ellison, 400 mg 4 kali sehari atau bisa lebih.
Profilaksis tukak
karena stres, 200-400 mg setiap 4-6 jam.
Pengurangan asam lambung (profilaksis
aspirasi asam; jangan menggunakan sirup), obstetrik 400 mg pada awal
melahirkan, kemudian bila perlu sampai 400 mg setiap 4 jam (maksimal 2,4 g
sehari); prosedur bedah 400 mg 90-120 menit sebelum induksi anestesi umum.
Short bowel syndrome:
400 mg dua kali sehari (bersama sarapan dan menjelang tidur), disesuaikan
menurut respons.Untuk mengurangi degradasi suplemen enzim pankreatik, 0,8-1,6 g
sehari dalam 4 dosis terbagi menurut respons 1-1,5 jam sebelum makan.
Anak. Neonatus: 5 mg/kg bb
4 kali sehari; Usia 1 bulan-12 tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) 4 kali
sehari; Usia 12-18 tahun 400 mg 2-4 kali sehari.
Injeksi intramuskuler:
200 mg setiap 4-6 jam.
Injeksi intravena lambat
(tetapi lihat peringatan di atas): 200 mg diberikan selama tidak kurang dari 5
menit; dapat diulang setiap 4-6 jam; bila diperlukan dosis besar atau terdapat
gangguan kardiovaskuler, dosis bersangkutan harus diencerkan dan diberikan
selama 10 menit (infus lebih baik); maksimal 2,4 g sehari.
Infus Intravena:
400 mg dalam 100 mL natrium klorida 0,9 % infus intravena diberikan selama
0,5-1 jam (dapat diulang setiap 4-6 jam) atau dengan cara infus
berkesinambungan pada laju rata-rata 50-100 mg/jam selama 24 jam, maksimal 2,4
g sehari; Bayi di bawah satu tahun melalui injeksi intravena lambat
atau infus intravena, 20 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis terbagi pernah
dilakukan: Anak lebih dari satu tahun, 25-30 mg/kg bb bobot badan
sehari dalam dosis terbagi.
Anak. (injeksi lambat
atau infus intravena): Neonatus 5 mg/kg bb setiap 6 jam; Usia 1 bulan-12 tahun:
5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) setiap 6 jam; Usia 12-18 tahun: 200-400 mg setiap
6 jam.
Pemberian untuk injeksi intravena pada
anak tidak melebihi kadar 10 mg/mL dengan natrium klorida 0,9%, diberikan
selama 10 menit; untuk infus intravena intermiten, diencerkan dengan glukosa 5%
atau natrium klorida 0,9%.
Peringatan:
Antagonis reseptor-H2 sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan gangguan ginjal (Lampiran 3), kehamilan (Lampiran 4), dan
pasien menyusui (Lampiran 5). Antagonis reseptor-H2 dapat menutupi
gejala kanker lambung; perhatian khusus perlu diberikan pada pasien yang
mengalami perubahan gejala dan pada pasien setengah baya atau yang lebih tua.
Interaksi: Simetidin
menghambat metabolisme obat secara oksidatif di hati dengan cara mengikat
sitokrom P450 di mikrosom. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien yang
sedang mendapat terapi warfarin, fenitoin dan teofilin (atau aminofilin), sedangkan
interaksi lain (lihat lampiran 1), mungkin kurang bermakna secara klinis.
Famotidin, nizatidin, dan ranitidin tidak memiliki sifat menghambat metabolisme
obat seperti halnya simetidin.
b. Ranitidin HCl (Rnin,
Rantin, Renatac, Zantac, Zantadin), merupakan antagonis kompetitif histamin
yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat
sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin
digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi
yang patologis, misal sindrom Zollinger-Elison.
Efek
samping ranitidin antara lain adalah hepatitis, trombositopenia dan leukopenia
yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing.
Setelah
pemberian oral, ranitidin diabsorpsi 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja
cukup panjang, pemeberian dosis 150 mg efektif menekan sekresi asam lambung
selama 8-12 jam. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3 jam setelah pemberian
oral, dengan waktu paro eliminasi 2-3 jam.
Dosis : 150 mg 2 dd atau 300 mg, sebelum
tidur. Dosis: oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2
kali sehari atau 300 mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada
dispepsia episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada
tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk
mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); Anak: (tukak lambung) 2-4 mg/kg
bb 2 kali sehari, maksimal 300 mg sehari. Tukak duodenum karena H. pylori,
lihat regimen dosis eradikasi. Untuk Gastroesophageal Reflux Disease (GERD),
150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama sampai 8 minggu,
atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg sehari dalam 2-4
dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD, 150 mg 2 kali
sehari. Sindrom Zollinger-Ellison, 150 mg 3 kali sehari; dosis sampai 6
g sehari dalam dosis terbagi.
Pengurangan asam lambung (profilaksis
aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada awal melahirkan,
kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi intramuskuler atau
injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi anestesi (injeksi
intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2
menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum induksi anestesi, dan juga bila mungkin
pada petang sebelumnya.
Anak: Neonatus 2
mg/kg bb 3 kali sehari namun absorpsi tidak terjamin; maksimal 3 mg/kg bb 3
kali sehari; Usia 1-6 bulan: 1 mg/kg bb 3 kali sehari (maks. 3 mg/kg bb 3 kali
sehari); Usia 6 bulan-12 tahun: 2-4 mg/kg bb (maks. 150 mg) 2 kali sehari; Usia
12-18 tahun: 150 mg 2 kali sehari.
Injeksi intramuskuler:
50 mg setiap 6-8 jam.
Injeksi intravena lambat:
50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit;
dapat diulang setiap 6-8 jam.
Anak. Neonatus:
0,5-1 mg/kg bb setiap 6-8 jam; Usia 1 bulan-18 tahun: 1 mg/kg bb (maks. 50 mg)
setiap 6-8 jam (dapat diberikan sebagai infus intermiten pada kecepatan
25 mg/jam).
Infus intravena:
25 mg/jam selama 2 jam; dapat diulang setiap 6-8 jam.
Anak. Neonatus:
30-60 mg microgram/kg bb/jam (maks. 3 mg/kg bb sehari); Usia 1 bulan-18 tahun:
125-250 mikrogram/kg bb/jam.
Pemberian pada anak untuk injeksi
intravena lambat dengan cara diencerkan hingga kadar 2,5 mg/mL menggunakan
glukosa 5%, natrium klorida 0,9% atau campuran natrium laktat. Diberikan selama
sekurang-kurangnya 3 menit. Untuk infus intravena, diperlukan pengenceran lebih
lanjut.
c.
Famotidin
(
Facid, Famocid, Gaster , Regastin , Restadin), merupakan antagonis kompetitif
histamin yang khas pada resetor H2 sehingga secara efektif dapat
menghambat sekresi asam lambung , menekan kadar asam dan volume sekresi lambung.
Famotidin merupakan antagonis-H2 yang kuat dan sangat selektif degan masa kerja
panjang. Famotidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan
keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger-Ellison.
Efek
samping obat antara lain adalah trombositopenia,konstipasi,diare,artralgia,
sakit kepala dan pusing.
Absorpsi
famotidin dalam saluran cerna tidak sempurna 40-45% dan pengikatan protein plasma relatif
rendah 15-22%. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam
1-3 jam setelah pemberian oral, waktu paro eliminasi 2,5-4 jam, dengan masa
kerja obat 12 jam.
Dosis
: 20 mg 2 dd atau 40 mg, sebelum tidur, pengobatan tukak lambung dan duodenum
40 mg sebelum tidur malam; selama 4-8 minggu; pemeliharaan (tukak duodenum) 20
mg sebelum tidur malam, untuk Anak tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg 2 kali sehari. Sindroma Zollinger-Ellison (lihat keterangan di atas), 20 mg setiap 6 jam (dosis lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan antagonis reseptor-H2 lain); dosis sampai 800 mg sehari dalam dosis terbagi.
Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg 2 kali sehari. Sindroma Zollinger-Ellison (lihat keterangan di atas), 20 mg setiap 6 jam (dosis lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan antagonis reseptor-H2 lain); dosis sampai 800 mg sehari dalam dosis terbagi.
d. Roksatidin Asetat HCl (
Roxan ), merupakan antagonis kometitif histamin yang khas pada sel parietal
lambung atau reseptor H2, sehingga secara efektif menghambat sekresi
asam lambung. Roksatidin merupakan antagonis-H2 yang kuat dengan
masa kerja cukup panjang, digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus.
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, leukopenia, konstipasi,
diare, sakit kepala dan pusing. Dosis : 75 mg 2 dd atau 150 mg, sebelum tidur.
e. Nizatidin (
Axid ), sifat dan kegunaan mirip dengan ranitidin. Pada pemberian secara oral
ketersediaan hayatinya lebih besar dari 90 %, tetapi waktu paro eliminasinya
relatif pendek 1-2 jam. Dosis : 150 mg 2dd, atau 300 mg, dalam dosis tunggal
sebelum tidur.
Dosis:
Oral: tukak lambung dan tukak duodenum atau tukak karena AINS, pengobatan 300
mg sebelum tidur malam atau 150 mg 2 kali sehari selama 4-8 minggu:
pemeliharaan 150 mg sebelum tidur malam; Anak: tidak dianjurkan.
Refluks
esofagitis, 150-300 mg 2 kali sehari selama sampai 12 minggu.
Infus
intravena: untuk penggunaan jangka pendek pada tukak lambung pasien rawat inap
sebagai alternatif terhadap penggunaan oral, dengan cara infus intravena
berselang (intermittent) selama 15 menit, 100 mg 3 kali sehari, atau dengan
cara infus intravena berkesinambungan, 10 mg/jam, maksimal 480 mg sehari; Anak:
tidak dianjurkan.
f.
F.
PROSEDUR
PENGEMBANGAN OBAT
Ariens membagi prosedur
pengembangan obat berdasarkan perubahan struktur dan sifat kimia fisika sebagai
berikut :
1. Pembuatan
seri senyawa homolog.
Suatu
seri senyawa homolog dapat dibuat dengan memperpanjang rantai hidrokarbon.
Contoh,
seri homolog n-alifatik alcohol dan n-alkil resorsinol sebagai antibakteri
2. Mengubah
jenis atau kedudukan substituent pada rantai samping
3. Mengganti
bagian yang kurang penting dan mempertahankan gugus fungsi yang ada
4. Melakukan
penyerdehanaan struktur
Contoh
: penyederhanaan struktur kokain (anestesi setempat) dihasilkan benzokain dan
prokain
5. Konversi
produk alami
Agonis
kemungkinan diubah menjadi antagonis kompetitif dengan menghilangkan sifat –
sifat senyawa agonis yang penting untuk aktivitas intrinsic dan memelihara
afinitas obat terhadap reseptor.
6. Modifikasi
dengan petunjuk tetapan kimia fisika dari substituent
7. Penggunaan
prinsip isosterik
Modifikasi
isosterik adalah melakukan penggantian gugus atau substituent tertantu pada
struktur molekul obat tanpa mengubah sifat kimia fisika penting obat
8. Memisahkan
campuran isomer
Pemisahan
isomer bertujuan untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas yang lebih tinggi
atau lebih selektif.
9. Pembentukan
senyawa kembar
a. Kombinasi
dari dua molekul obat yang sama (kembar identik) atau berbeda (kembar tidak
identik) melalui ikatan kovalen
Contoh
kembar identik
Contoh
kembar tidak identik
b. Penggunaan
molekul obat sebagai gugus atau substituen pada tipe yang lain dari molekul
obat tanpa dilepaskan dari senyawa induk.
10. Modifikasi
molekul secara alami
Contoh
:
11. Transformasi
mikroba
Penambahan
asam fenilasetat pada kultur jamur Penicillum sp. Menghasilkan benzilpenisilin,
sedangkan penambahan asam fenoksiasetat akan menghasilkan fenoksimeti
penisilin.
G.
PENGEMBANGAN
SENYAWA ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H2
Histamin dapat merangsang kontraksi
otot polos bronki, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus.
Yang bertanggungjawab terhadap efek di atas adalah reseptor histamine H1
dan efek tersebut dapat ditekan oleh obat antihistamin klasik.
Struktur antihistamin klasik pada
umumnya mengandung gugus aromatik lipofil yang dihubungkan oleh rantai 3 atom
dengan atom N basa, contoh difenhidramin, tripelenamin, dan klortrimeton.
Selain menimbulkan efek – efek di atas, histamine juga dapat merangsang
pengeluaran asam lambung. Efek ini tidak dapat dihambat oleh obat antihistamin
klasik, sehingga diduga histamine mempunyai reseptor yang secara karakteristik
berbeda dengan reseptor H1 yang dinamakan reseptor antihistamin H2.
Senyawa yang dapat menghambat pengeluaran asam lambung dinamakan H2-antagonis.
Dari studi hubungan struktur dan
aktivitas, dalam usaha pengembangan obat H2-antagonis, didapat hal –
hal menarik sebagai berikut :
a. Pemasukan
gugus metal pada atom C2 cincin imidazol secara selektif dapat
merangsang reseptor H1, sedangkan pemasukan gugus metal pada atom C4
ternyata senyawa bersifat selektif H2-agonis dengan efek H1-agonis
lemah. Hal ini menunjukkan bahwa histamine paling sedikit mempunyai dua tempat
reseptor yaitu reseptor H1 dan reseptor H2.
b. Modifikasi
pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek H2-antagonis, sehingga
modifikasi dilakukan pada rantai samping.
c. Penggantian
gugus amino rantai samping dengan gugus guanidine yang bersifat basa kuat
ternyata dapat menghasilkan efek H2-antagonis lemah.
d. Penambahan
panjang gugus metilen pada rantai samping turunan guanidine akan meningkatkan
aktivitas H2-antagonis tetapi senyawa masih mempunyai efek agonis
parsial yang tidak diinginkan.
e. Penggantian
gugus guanidine yang bermuatan positif dengan gugus tiourea yang tidak
bermuatan dan bersifat polar, seperti pada Burimamid akan menghilangkan efek
agonis dan memberikan efek H2 antagonis yang kuat.
Burimamid
f. Bila
diberikan secara oral Burimamid mempunyai aktivitas yang rendah karena
mempunyai kelarutan dalam air yang besar sehingga absorpsi obat dalam saluran
cerna rendah. Kemudian dibuat turunannya yang bersifat lebih lipofilik dengan
cara penambahan gugus metal pada atom C4 cincin imidazol dan
mengganti 1 gugus metilen pada rantai samping burimamid dengan atom S. senyawa
beru ini, yaitu Metiamid, ternyata efektif bila diberikan secara oral dan
mempunyai aktivitas yang lebih besar dibandingkan Burimamid.
g. Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa Metiamid dapat menimbulkan efek samping kelainan
darah (agranulositosis) yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea. Modifikasi
selanjutnya adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-sianoguanidin, yang
tidak bermuatan dan masih bersifat polar seperti pada Simetidin. Gugus siano
yang bersifat elektronegatif kuat dapat mengurangi sifat kebasaan atau ionisasi
gugus guanidine sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi lebih besar.
Simetidin
aktivitasnya 2 kali lebih besar disbanding metiamid dan merupakan senyawa
penghambat reseptor H2 pertama yang digunakan secara klinik, untuk
menghambat sekresi asam lambung pada pengobatan tukak lambung.
Simetidin
h. Modifikasi
isosterik dari inti imidazol telah diselidiki dan dihasilkan senyawa – senyawa
analog simetiden yang berkhasiat lebih baik dan efek samping yang lebih rendah.
Penggantian inti imidzol dengan cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil
pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil,
menghasilkan ranitidine yang dapat menghilangkan efek samping simetidin seperti
ginekomastia dan konfusi mental dan mengurangi kebasaan senyawa. Tidak seperti
simetidin, ranitidine tidak menghambat metabolism dari fenitonin, warfarin, dan
aminofilin dan juga tidak mengikat sitokrom P-450
i.
Penggantian inti imidazol dengan cincin
tiazol, pemasukan gugus guanidin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan
gugus sulfonamidoguanidin menghasilkan famotidin yang mempunyai aktivitas lebih
poten dibanding simetidin dan ranitidin, dapat menurunkan efek antiandrogenik
dan mengurangi sifat kebasaan senyawa.
H.
Identifikasi
1. Simetidin
Uji
Kualitatif
·
dengan reagen Nessler pada suhu 1000C
berwarna hitam.
·
dengan Natrium pikrat berwarna merah.
·
0,1 ml sampel yang diperoleh dari
melarutkan 1 mg Simetidin dalam 1 ml etanol ditambah 5 ml larutan dari 1 g asam
sitrat dalam asam anhidrat sampai 50 ml, dipanaskan di atas waterbath sekitar
10-15 menit maka akan diperoleh warna merah violet.
·
0,1 ml sampel yang diperoleh dari
melarutkan 1 mg Simetidin dalam 1 ml etanol ditambah 5 ml HCl 0,1 N dipanaskan
dan ditambahkan 3 ml NaOH mengubah kertas lakmus warna merah menjadi biru.
Uji
Kuantitatif
·
Lakukan penetapan dengan cara
Kromatgrafi Cari Kinerja Tinggi (KCKT) seperti yang tertera pada kromatografi.
·
Fase gerak masukkan 200 ml metanol P dan
0,3 ml asam fosfat kedalam labu 1000 ml, encerkan dengan air sampai tanda,
campur, saring, dan udarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian
sistem seperti yang tertera pada kromatografi.
Larutan
baku
·
Timbang saksama sejumlah Cimetidine
BPFI, larutkan dalam jumlah air dan metanol (4:1) hinggga kadar lebih kurang
0,4 mg/ml, diawali dengan melarutkan baku pembanding dalam satu bagian metanol
P, encerkan dengan 4 bagian air sampai tanda. Masukkan 5 ml larutan kedalam
labu 200 ml encerkan dengan fase gerak sampai tanda hingga kadar lebih kurang
10 mcg/ml.
Sistem
kromatografi.
·
Lakukan seperti yang tertera pada
kromatografi.
Kromatografi
cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 220 nm dan kolom 4,6 mm X 25 cm
berisi bahan pengisi L1. laju aliran lebih kurang 2,0 ml/menit. Lakukan
kromatografi terhadap larutan baku rekam respon puncak seperti yang tertera
pada prosedur : Faktor kapasitas, K’, tidak kurang dari 0,6 ; efisiensi kolom
ditetapkan dari puncak analit tidak kurang dari 1000 lempeng teoritis dan
simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih dari 2,0%.
Prosedur
suntikan secara terpisah
·
Sejumlah volume sama ( lebih kurang 50
mcL) larutan baku dan larutan uji kedalam kromatograf, ukur respon puncak.
Hitung jumlah dalam mg, C10H16N6S dengan rumus :
10 C ( )
Keterangan
:
C=
kadar simetidin dalam Mg/ml larutan baku
ru
dan rs = respon puncak larutan uji dan larutan baku.
2. Ranitidine
·
Spektrum serapan inframerah zat yang
telah dikeringkan dan didispersikan dalam minyak mineral P, menunjukkan
maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada ranitidin
hidroklorida BPFI.
·
Spektrum serapan ultraviolet larutan (1
dalam 100.000) menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang
sama seperti pada ranitidin hidroklorida BPFI. Daya serap masing-masing
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan pada panjang gelombang serapan
maksimum lebih kurang 2229 nm dan 315 nm berbeda tidak lebih dari 3,0 %.
·
Menunjukan Reaksi klorida cara A, B dan
C. Seperti yang tertera pada uji identifikasi umum :
Uji
Kuantitatif
·
Penetapan kadar Ranitidin HCl pada
tablet dilakukan dengan teknik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Fase
gerak yang digunakan dalam KCKT ini adalah campuran methanol P-amonium asetat
0,1 M (70:30) yang disaring dan diudarakan.
·
Larutan baku yang digunakan adalah
Ranitidin HCl BPFI yang dilarutkan dalam fase gerak, kemudian diencerkan secara
bertahap dengan pelarut yang sama sampai kadar 0,112 mg per ml.
·
Larutan uji Timbang saksama lebih kurang 112 mg, masukan
ke labu 100 ml, larutkan dan encerkan dengan fase gerak sampai tanda. Masukkan
1 ml larutan ke dalam labu 10 ml, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.
Sistem
kromatografi
Lakukan
seperti yang tertera pada kromatografi. Kromatografi cair kinerja tinggi
dilengkapi dengan detektor 322 nm dan kolom 4,6 mmX 20 cm sampai 30 cm berisi
bahan pengisi L1. laju aliran lebih kurang 2 ml/menit. Lakukan kromatografi
terhadap larutan kesesuaian sistem, rekam luas puncak seperti tertera pada
prosedur : resolusi, R, antara puncak Ranitidine Hidroklorida dan
N-[2-]]]5-[(dimetil amino) metil
]-2-fumaril]metil]sulfinil]etil-N’-metil-2-Nitro-1,1-etanadiamina Hidroklorida
( senya sejenis C ranitidin) tidak kurang dari 1,5. lakukan penyuntikan ulang
larutan baku, rekam respon puncak seperti yang tertera pada prosedur : faktor
ikutan puncak Ranitidin Hidroklorida tidak lebih dari 2,0, jumlah lempeng
teoritis ditentukan dari puncak ranitidin Hidroklorida tidak kurang 700 dan
simpangan baku relatif padat penyuntikan ulang tidak lebih 2 %.
Prosedur
Suntikan
secara terpisah volume sama ( lebih kurang 10 mcL) larutan baku dan larutan uji
kedalam kromatografi ukur luas puncak utama. Hitung jumlah dalam mcg,
C13H22N4O3S. HCl dengan rumus :
10
C ()
Keterangan
:
C=
kadar Ranitidin HCl dalam Mg/ml larutan baku
ru
dan rs = respon puncak larutan uji dan larutan baku.
DAFTAR
PUSTAKA
- Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
- Hoan tjay,Tan dan Rahardja,Kirana.1978.Obat-Obat Penting Khasiat,Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya.Jakarta:PT
Elex Media Komputindo
- Siswandono. 2000. Kimia
Medisinal jilid 1.Jakarta : Airlangga
- Siswandono. 2000. Kimia
Medisinal jilid 2.Jakarta : Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar