Selasa, 11 April 2017

Hubungan Struktur dan Aktivitas Antihistamin H2

“HSA Antihistamin H2”

Oleh: Asriani Indah Bangu
Kelompok 5





A. PENDAHULUAN

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing.  Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga, dan debu. Alergen juga dapat masuk melalui saluran percernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood. Sering kali kita mengalami alergi, misal alergi kulit yang menjadi  merah, gatal dan bengkak sampai alergi yang  membuat sesak nafas.
Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh stress dan depresi.

Histamin adalah senyawa yang  terlibat dalam respon  imunitas lokal, selain itu senyawa ini juga berperan sebagai neurotransmitter di susunan saraf  pusat dan mengatur fungsi fisiologis di lambung. Sebenarnya histamin sendiri terdapat di hampir  semua jaringan  tubuh  manusia dalam  jumlah kecil . Konsentrasi terbesar terdapat di kulit,, paru-paru dan mukosa gastrointestinal.  Histamin dibentuk oleh histidin dengan bantuan enzim histidine decarboxylase (HDC). Selanjutnya histamin yang terbentuk akan diinaktivasi dan disimpan dalam granul mast cell dan basofil (sel darah putih). Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress. Efek samping dari antihistamin secara umum adalah mengantuk, mulut kering, gangguan saluran cerna, gangguan urin dan terkadang iritasi. Banyak sekali obat yang dapat meyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut menekan susunan saraf pusat. Maka sering kita melihat pada kemasan obat bahwa kita dilarang mengendalikan kendaraan setelah minum obat tersebut.

Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistami. Sejak itu secara luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik. Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping, mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka panjang. Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah.
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan).



B.     PENGERTIAN HISTAMIN

Histamin adalah senyawa normal yang ada didalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel mast dan peredaran basofil, yang berperan terhadap beberapa fisiologis penting. Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan gejala alergi.




Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna dan dalam jantung. Histamine dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada pengikatan kompleks heparin-protein dalam sel mast, sebagai hasil reaksi antigen-antibodi, bila ada rangsangan senyawa alergen. Senyawa ini dapat berupa spora, debu rumah, sinar ultraviolet, cuaca, racun, tripsin, dan enzim, zat makanan, obat, dan beberapa turunan amin.





Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekarboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari. Histamin memiliki aktifitas farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Histamine dapat dimetabolisis melalui reaksi oksidasi, N-metilasi, dan aseilasi. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel.
Peran histamin dalam tubuh:
    a.  Kontraksi dari otot–otot polos bronchus dan usus.
    b.  Memperbesar permeabilitas kapiler :  udem & pengembangan mukosa.
    c. Stimulasi ujung–ujung saraf : nyeri & gatal–gatal.
  d. Vasodilatasi pembuluh : kemerahan & rasa panas di wajah, menurunnya resistensi perifer & tekanan darah.
   e. Memperkuat sekresi asam lambung, kelenjar ludah dan air mata.


Histamin menimbulkan efek yang bervariasi pada beberapa organ, antara lain yaitu :
1. Vasodilatasi kapiler sehingga permeable terhadap permeable terhadap cincin dan plasma protein sehingga menyebabkan sembab, rasa gatal, dermatitis, urtikaria.
2. Merangsang sekresi asam lambung sehingga menyebabkan tukak lambung.
3. Meningkatkan sekresi kelenjar
4. Meningkatkan sekresi otot polos bronkus dan usus
5. Mempercepat kerja jantung
6. Menghambat kontraksi uterus


Garam fosfatnya  (Histamin fosfat):
  Mengetahui berkurangnya sekresi asam lambung
  Diagnosis karsinoma lambung
  Kontrol positif pada uji alergi kulit


Betazol.2HCl :
  Isomer histamin (agonis histamin)
  Penggunaan = histamin fosfat





Mekanisme Kerja
Histamin dapat menimbulkan efek bila berinteraksi dengan reseptor, histaminergik yaitu reseptor H1, H2, dn H3. Interaksi histamin dengan reseptor H2 dapat meningkatkan sekresi asam lambung dan kecepatan kerja jantung. Produksi asam lambung disebabkan penurunan cGMP dalam sel dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan efek tukak lambung. Efek ini diblok oleh antagonis H2.



C.    PENGERTIAN ANTIHISTAMIN

Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamine dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi resptor H1, H2, H3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen-antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamine yang sudah terjadi. Antihistamin umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin terutama bekerja dengan menghambat secara bersaing interaksi histamine dengan reseptor khas. Berdasarkan pada reseptor khas antihistamin antagonis H2 digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobtan penderita tukak lambung.





Antagonis H2
Adalah senyawa yang secara bersaing menghambat interaksi histamine dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat asam lambung.




Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina. Antagonis H2 biasa digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek samping antagonis H2 antara lain : diare, nyeri otot dan kegelisahan.

Mekanisme kerja: mempunyai struktur serupa dengan histamine yaitu mengandung cincin imidazol, tetapi yang membedakan adalah panjang gugus rantai sampingnya. Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin sehingga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini dilakukan sebelum pelepasan histamin. Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamine, gastrin, dan asetilkolin, antagonis H2 menghambat secara langsung kerja histamin pada sekresi asam lambung dan menghambat kerja potensial histamine pada sekresi asam yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin, sehingga histamine mempunyai efikasi intrinsic dan efikasi potensial, sedang gastrin dan aetilkolin hanya mempunyai efikasi potensial. Tapi jika sudah terjadi pelepasan histamin, indikasinya sama dengan AH1.



D.    HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS

Dari studi hubungan  sruktur dan aktivitas dalam usaha pengembangan obatbantagonis H-2 telah dilakukan modifikasi struktur histamin dan didapat hal-hal menarik sebagai berikut



a.       Modifikasi pada cincin
Cincin imidazol dapat membentuk dua tautomer , yaitu N- H dan N-H. Bentuk N-H lebih dominan dan diperlukan untuk aktivitas antagonis H2-Metiamid , dengan bentuk N-H , mempunyai aktiitas 5 kali lebih besar dibanding burimamid yang mempunyai bentuk N-H. Cincin imidazol pada umumnya mengandung rantai samping gugus yang bersifat penarik eletron . Pemasukan gugus metil pada atom C2 cincin imidazol secara selektif dapat merangsang reseptor H1. Pemasukan gugus metil pada atom C4 ternyata senyawa bersifat selektif H2 , agonis dengan efek H-1 agonis lemah. Hal ini disebabkan substituen 4 –metil yang bersifat donor elektron yang akan memperkuat efek tautomeri rantai penarik eletron sehingga bentuk tautomer N-H lebih stabil. Modifikasi yang lain pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek H2-antagonis yang lebih kuat.

b.      Modifikasi pada rantai samping
Untuk aktivitas optimal cincin harus terpisahdari gugus N oleh atom C atau ekivalennya. Pemedekan rantai dapat menurunkan aktivitas antagonis H2. Penambahan panjang gugus metilen pada rantai samping turunan guanidin akan meningkatkan kekuatan H2-antagonis tetapi senyawamasih mempunyai efek persial-agonis yang tidak diinginkan.
Penggantian 1 gugus metilen (-CH2-) pada rantai samping dengan isosteik tioeter (-S-) meningkatkan aktivitas antagonis.

c.       Modifikasi pada gugus N
Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus guanidin yang bersifat basa kuat (Na-guanilhistamin) ternyata menghasilkan efek H2-antagonis lemah, dan masih bersifat parsial agonis. Sifat basis senyawa (pKa = 13,6) menyebabkan senyawa terionisasi sempurna pada pH fisiologis. Histamin (pKa =5.9)di dalam tubuh hanya 3% terionkan.






Penggantian gugus guanidin yang bermuatan positif dengan gugus tiourea yang tidak bermuatan atau tidak terionisasi pada pH tubuh dan bersifat polar, serta masih mampu membentuk ikatan hidrogen, seperti pada burimamid, akan menghilangkan efek agonis dan memberikan efek H2-antagonis 100 kali lebih kuat dibanding Na-guanilhistamin.

Gambar.




Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa burimamid dan metiamid menimbulkan efek samping kelainan darah (agranulositosis) yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea.
Modifikasi lebih lanjut adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-sianoguanidin yang tidak bermuatan dan masih bersifat polar, seperti pada simetidin.

Gambar.


Gugus siano yang bersifat elektronegatif kuat mengurangi sifat kebasaan atau ionisasi gugus guanidin sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi lebih besar.
Simetidin aktivitasnya 2 kali lebih besar dibanding metiamid dan menimbulkan efek samping agranulositosis lebih rendah. Simetidin merupakan senyawa penghambat reseptor H2 pertama yang digunakan secara klinik untuk menghambat sekresi asam lambung pada pengobatan tukak lambung dan usus. Etinidin adalah analog simetidin dimana mengandung gugus metiletinil pada ujung N-guanid, aktivitasnya 2 kali lebih besar dibanding simetidin.
Modifikasi isosterik dari inti imidazol telah diselidiki dan dihasilkan senyawa yang lebih rendah. Penggantian inti imidazol engan cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil, menghasilkan ranitidi, yang dapat menghilangkan efek samping smetidin, seperti ginekomastiadan konfusi mental, dan mengurangi kebasaan senyawa. Tidak sepertisimetidin, ranitidin tidak menghambat metabolisme dari fenitoin, warfarin, dan aminofilin, dan juga tidak mengikat sitokrom P-450.

Gambar.


Penggantian inti imidazol dengan cincin tiazol, pemasukan gugus guanidin pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus sulfonamidoguanidin, menghasilkan famotidin, yang mempunyai aktivitas lebih poten dibanding simetidin dan ranitidin, dapat menurunkan efek antiandrogenik, dan mengurangi sifat kebasaan senyawa.

Gambar.




HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS (HSA)
1.      Faktor yang Kurang Mendukung HSA
a.       Perbedaan keadaan pengukran parameter kimia fisika dan aktivitas biologis
b.      Senyawa yang digunakan ternyata bentuk pra obat, yang terlebih dahulu harus mengalami bioaktivasi menjadi metabolit aktif
c.       Aktivitas obat dipengaruhi oleh banyak keadaan in vivo, seperti distribusi obat yang melibatkan proses transport, pengikatan oleh protein,proses metabolism yaitu bioaktivasi dan biodegredasi serta proses ekskresi
d.      Senyawa mempunyai pusat atom asimetris
e.       Senyawa mempunyai aktivitas biologis yang mirip dengan senyawa lain tetapi berbeda mekanisme aksinya
f.       Pengaruh bentuk sediaan terhadap aktivitas
g.      Obat bersifat multipoten
h.      Perbedaan spesies terutama obat yang memberikan perbedaan aktivitas yang besar oleh adanya perbedaan spesies

2.      Faktor yang Mendukung Hubungan Struktur Aktivitas
a.       Hubungan struktur aktivitas empiris yang sifatnya incidental
Untuk tipe obat tertentu hokum empiris yang diperlukan untuk tetrjadinya aktivitas biologis dapat digunakan untuk membuat turunan obat berdasarkan data percobaan yang tersedia.
b.      Struktur obat simetrik
Jarak antara dua gugus fungsi identik dalam molekul obat mungkin diperlukan untuk mendapatkan aktivitas yang optimal. Hal ini menunjukkan bahwa reseptor mempunyai dua sisi aktif pada jarak tertentu. Jarak yang optimum kemungkinan berhubungan dengan sifat hidrofil dan lipofil yang optimum.



Antihistaminika
Adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi. Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik,misalnya antazolin.

Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.



E.     OBAT – OBAT ANTIHISTAMIN H2

a.      Simetidin (Cimet, Corsamet, Nulcer, Tagamet, Ulcedine ), merupakan antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 dari sel parietal sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung. Simetidin juga memblok seksresi asam lambung yang disebabkan oleh rangsangan makanan, asetilkolin, kafein dan insulin. Simetidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom ZoIIinger-Ellison.
Efek samping yang ditimbulkan antara lain adalah diare, pusing, kelelahan dan rash. Keadaan kebingungan, ginaekomastia dan impotensi juga dapat terjadi tetapi bersifat terpulihkan. Absorpsi  obat dalam saluran cerna cepat, kadar plasma teringgi dicapai dalam 1 jam bila diberikan dalam keadaan lambung kosong dan 2 jam bila diberikan bersama-sama dengan makanan. Jadi pemberian simetidin sebaiknya bersama-sama dengan makanan karena dapat menghambat absorpsi obat sehingga memperpanjang masa kerja obat. Waktu paronya  2 jam.
Dosis : 200 mg 3 dd, pada waktu makan dan 400 mg, sebelum tidur, Dosis: oral, 400 mg 2 kali sehari (setelah makan pagi dan sebelum tidur malam) atau 800 mg sebelum tidur malam (tukak lambung dan tukak duodenum) paling sedikit selama 4 minggu (6 minggu pada tukak lambung, 8 minggu pada tukak akibat AINS); bila perlu dosis dapat ditingkatkan sampai 4 x 400 mg sehari atau sampai maksimal 2,4 g sehari dalam dosis terbagi (misal: stress ulcer); anak lebih 1 tahun, 25-30 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi.
Pemeliharaan, 400 mg sebelum tidur malam atau 400 mg setelah makan pagi dan sebelum tidur malam. Refluks esofagitis, 400 mg 4 kali sehari selama 4-8 minggu.
Sindrom Zollinger Ellison, 400 mg 4 kali sehari atau bisa lebih.
Profilaksis tukak karena stres, 200-400 mg setiap 4-6 jam.
Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam; jangan menggunakan sirup), obstetrik 400 mg pada awal melahirkan, kemudian bila perlu sampai 400 mg setiap 4 jam (maksimal 2,4 g sehari); prosedur bedah 400 mg 90-120 menit sebelum induksi anestesi umum.
Short bowel syndrome: 400 mg dua kali sehari (bersama sarapan dan menjelang tidur), disesuaikan menurut respons.Untuk mengurangi degradasi suplemen enzim pankreatik, 0,8-1,6 g sehari dalam 4 dosis terbagi menurut respons 1-1,5 jam sebelum makan.
Anak. Neonatus: 5 mg/kg bb 4 kali sehari; Usia 1 bulan-12 tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) 4 kali sehari; Usia 12-18 tahun 400 mg 2-4 kali sehari.
Injeksi intramuskuler: 200 mg setiap 4-6 jam.
Injeksi intravena lambat (tetapi lihat peringatan di atas): 200 mg diberikan selama tidak kurang dari 5 menit; dapat diulang setiap 4-6 jam; bila diperlukan dosis besar atau terdapat gangguan kardiovaskuler, dosis bersangkutan harus diencerkan dan diberikan selama 10 menit (infus lebih baik); maksimal 2,4 g sehari.
Infus Intravena: 400 mg dalam 100 mL natrium klorida 0,9 % infus intravena diberikan selama 0,5-1 jam (dapat diulang setiap 4-6 jam) atau dengan cara infus berkesinambungan pada laju rata-rata 50-100 mg/jam selama 24 jam, maksimal 2,4 g sehari; Bayi di bawah satu tahun melalui injeksi intravena lambat atau infus intravena, 20 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis terbagi pernah dilakukan: Anak lebih dari satu tahun, 25-30 mg/kg bb bobot badan sehari dalam dosis terbagi.
Anak. (injeksi lambat atau infus intravena): Neonatus 5 mg/kg bb setiap 6 jam; Usia 1 bulan-12 tahun: 5-10 mg/kg bb (maks. 400 mg) setiap 6 jam; Usia 12-18 tahun: 200-400 mg setiap 6 jam.
Pemberian untuk injeksi intravena pada anak tidak melebihi kadar 10 mg/mL dengan natrium klorida 0,9%, diberikan selama 10 menit; untuk infus intravena intermiten, diencerkan dengan glukosa 5% atau natrium klorida 0,9%.
Peringatan: Antagonis reseptor-H2 sebaiknya digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal (Lampiran 3), kehamilan (Lampiran 4), dan pasien menyusui (Lampiran 5). Antagonis reseptor-H2 dapat menutupi gejala kanker lambung; perhatian khusus perlu diberikan pada pasien yang mengalami perubahan gejala dan pada pasien setengah baya atau yang lebih tua.
Interaksi: Simetidin menghambat metabolisme obat secara oksidatif di hati dengan cara mengikat sitokrom P450 di mikrosom. Penggunaannya sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang mendapat terapi warfarin, fenitoin dan teofilin (atau aminofilin), sedangkan interaksi lain (lihat lampiran 1), mungkin kurang bermakna secara klinis. Famotidin, nizatidin, dan ranitidin tidak memiliki sifat menghambat metabolisme obat seperti halnya simetidin.

b.      Ranitidin HCl (Rnin, Rantin, Renatac, Zantac, Zantadin), merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger-Elison.
Efek samping ranitidin antara lain adalah hepatitis, trombositopenia dan leukopenia yang terpulihkan, sakit kepala dan pusing.
Setelah pemberian oral, ranitidin diabsorpsi 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemeberian dosis 150 mg efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 2-3 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paro eliminasi 2-3 jam.
Dosis : 150 mg 2 dd atau 300 mg, sebelum tidur. Dosis: oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); Anak: (tukak lambung) 2-4 mg/kg bb 2 kali sehari, maksimal 300 mg sehari. Tukak duodenum karena H. pylori, lihat regimen dosis eradikasi. Untuk Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama sampai 8 minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD, 150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison, 150 mg 3 kali sehari; dosis sampai 6 g sehari dalam dosis terbagi.

Pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada awal melahirkan, kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi intramuskuler atau injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi anestesi (injeksi intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum induksi anestesi, dan juga bila mungkin pada petang sebelumnya.
Anak: Neonatus 2 mg/kg bb 3 kali sehari namun absorpsi tidak terjamin; maksimal 3 mg/kg bb 3 kali sehari; Usia 1-6 bulan: 1 mg/kg bb 3 kali sehari (maks. 3 mg/kg bb 3 kali sehari); Usia 6 bulan-12 tahun: 2-4 mg/kg bb (maks. 150 mg) 2 kali sehari; Usia 12-18 tahun: 150 mg 2 kali sehari.
Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8 jam.
Injeksi intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2 menit; dapat diulang setiap 6-8 jam.
Anak. Neonatus: 0,5-1 mg/kg bb setiap 6-8 jam; Usia 1 bulan-18 tahun: 1 mg/kg bb (maks. 50 mg) setiap 6-8 jam (dapat diberikan sebagai infus intermiten pada kecepatan 25 mg/jam).
Infus intravena: 25 mg/jam selama 2 jam; dapat diulang setiap 6-8 jam.
Anak. Neonatus: 30-60 mg microgram/kg bb/jam (maks. 3 mg/kg bb sehari); Usia 1 bulan-18 tahun: 125-250 mikrogram/kg bb/jam.
Pemberian pada anak untuk injeksi intravena lambat dengan cara diencerkan hingga kadar 2,5 mg/mL menggunakan glukosa 5%, natrium klorida 0,9% atau campuran natrium laktat. Diberikan selama sekurang-kurangnya 3 menit. Untuk infus intravena, diperlukan pengenceran lebih lanjut.

c.       Famotidin ( Facid, Famocid, Gaster , Regastin , Restadin), merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada resetor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung , menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Famotidin merupakan antagonis-H2  yang kuat dan sangat selektif degan masa kerja panjang. Famotidin digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis, misal sindrom Zollinger-Ellison.
Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia,konstipasi,diare,artralgia, sakit kepala dan pusing.
Absorpsi famotidin dalam saluran cerna tidak sempurna  40-45% dan pengikatan protein plasma relatif rendah  15-22%. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 1-3 jam setelah pemberian oral, waktu paro eliminasi 2,5-4 jam, dengan masa kerja obat  12 jam.
Dosis : 20 mg 2 dd atau 40 mg, sebelum tidur, pengobatan tukak lambung dan duodenum 40 mg sebelum tidur malam; selama 4-8 minggu; pemeliharaan (tukak duodenum) 20 mg sebelum tidur malam, untuk Anak tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12 minggu; pemeliharaan, 20 mg 2 kali sehari. Sindroma Zollinger-Ellison (lihat keterangan di atas), 20 mg setiap 6 jam (dosis lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan antagonis reseptor-H2 lain); dosis sampai 800 mg sehari dalam dosis terbagi.
d.      Roksatidin Asetat HCl ( Roxan ), merupakan antagonis kometitif histamin yang khas pada sel parietal lambung atau reseptor H2, sehingga secara efektif menghambat sekresi asam lambung. Roksatidin merupakan antagonis-H2 yang kuat dengan masa kerja cukup panjang, digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan usus. Efek samping obat antara lain adalah trombositopenia, leukopenia, konstipasi, diare, sakit kepala dan pusing. Dosis : 75 mg 2 dd atau 150 mg, sebelum tidur.



e.       Nizatidin ( Axid ), sifat dan kegunaan mirip dengan ranitidin. Pada pemberian secara oral ketersediaan hayatinya lebih besar dari 90 %, tetapi waktu paro eliminasinya relatif pendek 1-2 jam. Dosis : 150 mg 2dd, atau 300 mg, dalam dosis tunggal sebelum tidur.
Dosis: Oral: tukak lambung dan tukak duodenum atau tukak karena AINS, pengobatan 300 mg sebelum tidur malam atau 150 mg 2 kali sehari selama 4-8 minggu: pemeliharaan 150 mg sebelum tidur malam; Anak: tidak dianjurkan.
Refluks esofagitis, 150-300 mg 2 kali sehari selama sampai 12 minggu.
Infus intravena: untuk penggunaan jangka pendek pada tukak lambung pasien rawat inap sebagai alternatif terhadap penggunaan oral, dengan cara infus intravena berselang (intermittent) selama 15 menit, 100 mg 3 kali sehari, atau dengan cara infus intravena berkesinambungan, 10 mg/jam, maksimal 480 mg sehari; Anak: tidak dianjurkan.



f.       







F.     PROSEDUR PENGEMBANGAN OBAT
Ariens membagi prosedur pengembangan obat berdasarkan perubahan struktur dan sifat kimia fisika sebagai berikut :
1.      Pembuatan seri senyawa homolog.
Suatu seri senyawa homolog dapat dibuat dengan memperpanjang rantai hidrokarbon.
Contoh, seri homolog n-alifatik alcohol dan n-alkil resorsinol sebagai antibakteri
2.      Mengubah jenis atau kedudukan substituent pada rantai samping
3.      Mengganti bagian yang kurang penting dan mempertahankan gugus fungsi yang ada
4.      Melakukan penyerdehanaan struktur
Contoh : penyederhanaan struktur kokain (anestesi setempat) dihasilkan benzokain dan prokain
5.      Konversi produk alami
Agonis kemungkinan diubah menjadi antagonis kompetitif dengan menghilangkan sifat – sifat senyawa agonis yang penting untuk aktivitas intrinsic dan memelihara afinitas obat terhadap reseptor.



6.      Modifikasi dengan petunjuk tetapan kimia fisika dari substituent
7.      Penggunaan prinsip isosterik
Modifikasi isosterik adalah melakukan penggantian gugus atau substituent tertantu pada struktur molekul obat tanpa mengubah sifat kimia fisika penting obat
8.      Memisahkan campuran isomer
Pemisahan isomer bertujuan untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas yang lebih tinggi atau lebih selektif.
9.      Pembentukan senyawa kembar
a.       Kombinasi dari dua molekul obat yang sama (kembar identik) atau berbeda (kembar tidak identik) melalui ikatan kovalen
Contoh kembar identik


Contoh kembar tidak identik

b.      Penggunaan molekul obat sebagai gugus atau substituen pada tipe yang lain dari molekul obat tanpa dilepaskan dari senyawa induk.
10.  Modifikasi molekul secara alami
Contoh : 



11.  Transformasi mikroba
Penambahan asam fenilasetat pada kultur jamur Penicillum sp. Menghasilkan benzilpenisilin, sedangkan penambahan asam fenoksiasetat akan menghasilkan fenoksimeti penisilin.



G.    PENGEMBANGAN SENYAWA ANTAGONIS RESEPTOR HISTAMIN H2
Histamin dapat merangsang kontraksi otot polos bronki, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Yang bertanggungjawab terhadap efek di atas adalah reseptor histamine H1 dan efek tersebut dapat ditekan oleh obat antihistamin klasik.
Struktur antihistamin klasik pada umumnya mengandung gugus aromatik lipofil yang dihubungkan oleh rantai 3 atom dengan atom N basa, contoh difenhidramin, tripelenamin, dan klortrimeton. Selain menimbulkan efek – efek di atas, histamine juga dapat merangsang pengeluaran asam lambung. Efek ini tidak dapat dihambat oleh obat antihistamin klasik, sehingga diduga histamine mempunyai reseptor yang secara karakteristik berbeda dengan reseptor H1 yang dinamakan reseptor antihistamin H2. Senyawa yang dapat menghambat pengeluaran asam lambung dinamakan H2-antagonis.
Dari studi hubungan struktur dan aktivitas, dalam usaha pengembangan obat H2-antagonis, didapat hal – hal menarik sebagai berikut :
a.       Pemasukan gugus metal pada atom C2 cincin imidazol secara selektif dapat merangsang reseptor H1, sedangkan pemasukan gugus metal pada atom C4 ternyata senyawa bersifat selektif H2-agonis dengan efek H1-agonis lemah. Hal ini menunjukkan bahwa histamine paling sedikit mempunyai dua tempat reseptor yaitu reseptor H1 dan reseptor H2.
b.      Modifikasi pada cincin ternyata tidak menghasilkan efek H2-antagonis, sehingga modifikasi dilakukan pada rantai samping.
c.       Penggantian gugus amino rantai samping dengan gugus guanidine yang bersifat basa kuat ternyata dapat menghasilkan efek H2-antagonis lemah.
d.      Penambahan panjang gugus metilen pada rantai samping turunan guanidine akan meningkatkan aktivitas H2-antagonis tetapi senyawa masih mempunyai efek agonis parsial yang tidak diinginkan.


e.       Penggantian gugus guanidine yang bermuatan positif dengan gugus tiourea yang tidak bermuatan dan bersifat polar, seperti pada Burimamid akan menghilangkan efek agonis dan memberikan efek H2 antagonis yang kuat.
               Burimamid

f.       Bila diberikan secara oral Burimamid mempunyai aktivitas yang rendah karena mempunyai kelarutan dalam air yang besar sehingga absorpsi obat dalam saluran cerna rendah. Kemudian dibuat turunannya yang bersifat lebih lipofilik dengan cara penambahan gugus metal pada atom C4 cincin imidazol dan mengganti 1 gugus metilen pada rantai samping burimamid dengan atom S. senyawa beru ini, yaitu Metiamid, ternyata efektif bila diberikan secara oral dan mempunyai aktivitas yang lebih besar dibandingkan Burimamid.

g.      Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa Metiamid dapat menimbulkan efek samping kelainan darah (agranulositosis) yang disebabkan oleh adanya gugus tiourea. Modifikasi selanjutnya adalah mengganti gugus tiourea dengan gugus N-sianoguanidin, yang tidak bermuatan dan masih bersifat polar seperti pada Simetidin. Gugus siano yang bersifat elektronegatif kuat dapat mengurangi sifat kebasaan atau ionisasi gugus guanidine sehingga absorpsi pada saluran cerna menjadi lebih besar.
Simetidin aktivitasnya 2 kali lebih besar disbanding metiamid dan merupakan senyawa penghambat reseptor H2 pertama yang digunakan secara klinik, untuk menghambat sekresi asam lambung pada pengobatan tukak lambung.
             Simetidin

h.      Modifikasi isosterik dari inti imidazol telah diselidiki dan dihasilkan senyawa – senyawa analog simetiden yang berkhasiat lebih baik dan efek samping yang lebih rendah. Penggantian inti imidzol dengan cincin furan, pemasukan gugus dimetilaminoetil pada cincin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus nitrometenil, menghasilkan ranitidine yang dapat menghilangkan efek samping simetidin seperti ginekomastia dan konfusi mental dan mengurangi kebasaan senyawa. Tidak seperti simetidin, ranitidine tidak menghambat metabolism dari fenitonin, warfarin, dan aminofilin dan juga tidak mengikat sitokrom P-450


i.        Penggantian inti imidazol dengan cincin tiazol, pemasukan gugus guanidin dan penggantian gugus sianoguanidin dengan gugus sulfonamidoguanidin menghasilkan famotidin yang mempunyai aktivitas lebih poten dibanding simetidin dan ranitidin, dapat menurunkan efek antiandrogenik dan mengurangi sifat kebasaan senyawa.



H.    Identifikasi

1.      Simetidin
Uji Kualitatif
·         dengan reagen Nessler pada suhu 1000C berwarna hitam.
·         dengan Natrium pikrat berwarna merah.
·         0,1 ml sampel yang diperoleh dari melarutkan 1 mg Simetidin dalam 1 ml etanol ditambah 5 ml larutan dari 1 g asam sitrat dalam asam anhidrat sampai 50 ml, dipanaskan di atas waterbath sekitar 10-15 menit maka akan diperoleh warna merah violet.
·         0,1 ml sampel yang diperoleh dari melarutkan 1 mg Simetidin dalam 1 ml etanol ditambah 5 ml HCl 0,1 N dipanaskan dan ditambahkan 3 ml NaOH mengubah kertas lakmus warna merah menjadi biru.
Uji Kuantitatif
·         Lakukan penetapan dengan cara Kromatgrafi Cari Kinerja Tinggi (KCKT) seperti yang tertera pada kromatografi.
·         Fase gerak masukkan 200 ml metanol P dan 0,3 ml asam fosfat kedalam labu 1000 ml, encerkan dengan air sampai tanda, campur, saring, dan udarakan. Jika perlu lakukan penyesuaian menurut kesesuaian sistem seperti yang tertera pada kromatografi.

Larutan baku
·         Timbang saksama sejumlah Cimetidine BPFI, larutkan dalam jumlah air dan metanol (4:1) hinggga kadar lebih kurang 0,4 mg/ml, diawali dengan melarutkan baku pembanding dalam satu bagian metanol P, encerkan dengan 4 bagian air sampai tanda. Masukkan 5 ml larutan kedalam labu 200 ml encerkan dengan fase gerak sampai tanda hingga kadar lebih kurang 10 mcg/ml.
Sistem kromatografi.
·         Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi.
Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 220 nm dan kolom 4,6 mm X 25 cm berisi bahan pengisi L1. laju aliran lebih kurang 2,0 ml/menit. Lakukan kromatografi terhadap larutan baku rekam respon puncak seperti yang tertera pada prosedur : Faktor kapasitas, K’, tidak kurang dari 0,6 ; efisiensi kolom ditetapkan dari puncak analit tidak kurang dari 1000 lempeng teoritis dan simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih dari 2,0%.
Prosedur suntikan secara terpisah
·         Sejumlah volume sama ( lebih kurang 50 mcL) larutan baku dan larutan uji kedalam kromatograf, ukur respon puncak. Hitung jumlah dalam mg, C10H16N6S  dengan rumus :
                     
 10 C ( )
Keterangan :
C= kadar simetidin dalam Mg/ml larutan baku
ru dan rs = respon puncak larutan uji dan larutan baku.

2.      Ranitidine
·         Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan dan didispersikan dalam minyak mineral P, menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada ranitidin hidroklorida BPFI.
·         Spektrum serapan ultraviolet larutan (1 dalam 100.000) menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang gelombang yang sama seperti pada ranitidin hidroklorida BPFI. Daya serap masing-masing dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 2229 nm dan 315 nm berbeda tidak lebih dari 3,0 %.
·         Menunjukan Reaksi klorida cara A, B dan C. Seperti yang tertera pada uji identifikasi umum :

Uji Kuantitatif
·         Penetapan kadar Ranitidin HCl pada tablet dilakukan dengan teknik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Fase gerak yang digunakan dalam KCKT ini adalah campuran methanol P-amonium asetat 0,1 M (70:30) yang disaring dan diudarakan.
·         Larutan baku yang digunakan adalah Ranitidin HCl BPFI yang dilarutkan dalam fase gerak, kemudian diencerkan secara bertahap dengan pelarut yang sama sampai kadar 0,112 mg per ml.
·         Larutan uji  Timbang saksama lebih kurang 112 mg, masukan ke labu 100 ml, larutkan dan encerkan dengan fase gerak sampai tanda. Masukkan 1 ml larutan ke dalam labu 10 ml, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.

Sistem kromatografi
Lakukan seperti yang tertera pada kromatografi. Kromatografi cair kinerja tinggi dilengkapi dengan detektor 322 nm dan kolom 4,6 mmX 20 cm sampai 30 cm berisi bahan pengisi L1. laju aliran lebih kurang 2 ml/menit. Lakukan kromatografi terhadap larutan kesesuaian sistem, rekam luas puncak seperti tertera pada prosedur : resolusi, R, antara puncak Ranitidine Hidroklorida dan N-[2-]]]5-[(dimetil amino) metil ]-2-fumaril]metil]sulfinil]etil-N’-metil-2-Nitro-1,1-etanadiamina Hidroklorida ( senya sejenis C ranitidin) tidak kurang dari 1,5. lakukan penyuntikan ulang larutan baku, rekam respon puncak seperti yang tertera pada prosedur : faktor ikutan puncak Ranitidin Hidroklorida tidak lebih dari 2,0, jumlah lempeng teoritis ditentukan dari puncak ranitidin Hidroklorida tidak kurang 700 dan simpangan baku relatif padat penyuntikan ulang tidak lebih 2 %.
Prosedur
Suntikan secara terpisah volume sama ( lebih kurang 10 mcL) larutan baku dan larutan uji kedalam kromatografi ukur luas puncak utama. Hitung jumlah dalam mcg, C13H22N4O3S. HCl dengan rumus :
                                                10 C ()
Keterangan :
C= kadar Ranitidin HCl dalam Mg/ml larutan baku
ru dan rs = respon puncak larutan uji dan larutan baku.



DAFTAR PUSTAKA
- Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.Jakarta: Balai Penerbit FKUI
- Hoan tjay,Tan dan Rahardja,Kirana.1978.Obat-Obat Penting Khasiat,Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya.Jakarta:PT Elex Media Komputindo
- Siswandono. 2000. Kimia Medisinal jilid 1.Jakarta : Airlangga
- Siswandono. 2000. Kimia Medisinal jilid 2.Jakarta : Airlangga







Tidak ada komentar:

Posting Komentar